Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kabupaten Barito Utara 2024 yang digelar beberapa waktu lalu menyisakan tanda tanya besar apakah hasil akhir benar-benar sudah menjadi keputusan rakyat, atau masih akan ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?
Berdasarkan rekapitulasi resmi KPU, pasangan Shalahudin-Felix meraih kemenangan atas rivalnya, Jimmy–Inri. Namun, pasangan nomor urut 2 tersebut menolak hasil tersebut dan resmi mendaftarkan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) ke MK pada Senin (11/8/2025).
Tim hukum Jimmy–Inri menilai telah terjadi sejumlah pelanggaran, termasuk dugaan politik uang, yang mereka anggap cukup mempengaruhi hasil PSU. Di sisi lain, kubu pemenang dan penyelenggara pemilu meyakini proses telah berjalan sesuai aturan, dan hasilnya mencerminkan suara rakyat Barito Utara.
Berdasarkan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016, peluang gugatan dikabulkan akan bergantung pada selisih suara dan bukti pelanggaran yang diajukan. Praktisi hukum menilai, tantangan terbesar bagi penggugat adalah membuktikan bahwa dugaan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Kini, mata publik Barito Utara tertuju pada MK di Jakarta. Jika gugatan dikabulkan, bukan tidak mungkin PSU kembali digelar atau hasilnya dibatalkan. Namun jika ditolak, maka kemenangan yang telah ditetapkan KPU akan mengikat sebagai keputusan rakyat.
Sampai putusan dibacakan, pertanyaan itu masih menggantung di Barito Utara, siapa yang memegang kata akhir rakyat atau MK?
Sementara itu, Pemerhati Politik sekali gus Praktisi Hukum, Rusdi Agus Susanto, S.H., menanggapi rencana pasangan calon nomor urut 2, Jimmy–Inri, yang akan mengajukan permohonan selisih hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Barito Utara 2025 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, secara hukum, permohonan tersebut untuk diterima sangat kecil. Rusdi Agus menjelaskan berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota syarat pengajuan permohonan pembatalan hasil Pilkada ke MK yaitu selisih suara antara pasangan calon tidak melebihi 2% dari total suara sah.
“Faktanya, selisih hasil PSU Barito Utara kali ini sekitar 4%. Artinya, secara formil, syarat itu tidak terpenuhi, sehingga sangat berpotensi ditolak,” tegasnya, Minggu (10/8/2025). Lebih lanjut, ia menyoroti inkonsistensi sikap kubu Jimmy–Inri.
“Di awal mereka maju di PSU, justru menolak opsi membawa perselisihan ke MK dengan dalih untuk kepentingan masyarakat Barito Utara. Kalau sekarang ngotot ke MK, sama saja seperti menjilat ludah sendiri,” ujarnya.
Rusdi Agus menduga langkah ini merupakan manuver politik yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok atau keluarga, ketimbang kepentingan masyarakat luas.
“Masyarakat Barito Utara yang sudah sekian lama menunggu kepastian pemimpin baru. Kalau terus diputar di ranah sengketa, yang dirugikan justru masyarakat Barito Utara ” tambahnya.
Ia pun mengingatkan agar seluruh pihak menghormati proses demokrasi yang telah berjalan, mengedepankan persatuan, dan segera fokus pada pembangunan daerah Barito Utara pasca PSU.